artikel pendidikan
PENDIDIKAN NASIONAL : MESIN INDUSTRI YANG MENCETAK MANUSIA, ROBOT ATAU KULI ?
Oleh : Mulyanto,TE ( tanpa
embel-embel )
Guru SMPN 12 Mukomuko,kec.Sungai
Rumbai,Kab. Mukomuko Propinsi
Bengkulu 38366
Tujuan pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara
merupakan isu penting, namun bagaimana dengan tujuan ketenagakerjaan sebagai
target pendidikan?Presiden saat pidato pelantikan Muhajir Efendi sebagai
menteri Pendidikan menggantikan Anies Baswedan menginginkan Indonesia memiliki
orang-orang terampil yang siap bekerja memenuhi kebutuhan pasar. Dan itu
diharapkan dapat diperoleh dari output pendidikan.Dalam acara pelantikan
tersebut, Presiden Joko Widodo berpesan kepada Effendy untuk bekerja secara
optimal dalam hal pemerataan pendidikan dan ketenagakerjaan.
Mungkin tujuannya mulia, namun di sini tersirat bahwa
sekolah akan diarahkan dan lebih berperan sebagai mesin industri tenaga kerja “pabrik
tenaga kerja”. Orang-orang masuk tanpa ketrampilan dan kemudian keluar
dengan “tenaga” yang siap dipakai.Seperti sebuah pabrik yang mengolah bahan
mentah menjadi barang yang siap dipakai,masuk pabrik barang mentah setelah
diproses di dalam pabrik keluar menjadi barang industri yang siap pakai. Sebenarnya
pernyataan Presiden Jokowi tersebut hanyalah mengulang kebijakan pemerintah
pada era Soeharto dengan menteri pendidikan dan kebudayaan waktu itu yaitu Pak
Wardiman Joyonegoro dengan kebijakan “Link and match” nya.Persoalannya
adalah apakah menjadikan pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja ini
benar-benar tujuan pendidikan yang hakiki?
Para cendekiawan dan ahli pendidikan di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat telah mengusulkan sebuah perubahan yang mendasar dalam
sistem pendidikan di negara tersebut. Di Amerika Serikat, seiring dengan
pesatnya perkembangan teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan
artifisial,sejumlah cendekiawan mulai aktif mengusulkan “Revolusi
Pendidikan” .Mereka meyakini bahwa dalam beberapa tahun yang akan datang,
akan ada banyak pekerjaan yang akan diambil
alih oleh kecerdasan artifisial ini.Kecenderungan dunia kerja pada masa yang
akan datang akan lebih menekankan otomasi dalam praktik produksinya.
Contoh nyata gejala pemanfaatan kecerdasan artifisial
tersebut di Indonesia adalah aplikasi Gojek, Gocar,Uber, dan Grab yang
mengambil alih sebagian penghasilan ojek pangkalan dan juga taksi konvensional.
Ini baru disektor non formal., bukan tidak mungkin nanti di masa yang akan
datang akan ada lebih banyak lagi berbagai sektor lapangan kerja yang
pekerjanya tergantikan oleh kecerdasan
artifisial ini.
Dalam sebuah artikel berjudul “Re-educating Rita”di
majalah The Economist, seorang pakar ekonomi dari The NorthWestern University,
mengatakan bahwa kita harus meninggalkan sistem pendidikan yang bersifat “pabrik tenaga kerja” seperti yang disiratkan
oleh Presiden Joko Widodo karena sistem ini memperlakukan manusia yang
menjadi peserta didik seperti tanah liat, “shape it, then bake it, and
that’s the way that it stays,”*. Menurut pakar tersebut, kemauan untuk terus belajar seumur
hidup adalah hal yang paling penting dan
paling layak untuk dijadikan sebagai tujuan pendidikan.
Pernyataan pakar ekonomi tersebut sebenarnya bukan hal baru.
Pada awal tahun 2015, Bill Gates pemilik microsoft dan juga Stephen Hawking seorang ilmuwan
menulis surat terbuka yang mengajak para ilmuwan untuk melakukan penelitian
mendalam untuk memaksimalkan pemanfaatan kecerdasan artifisial dalam kehidupan
manusia.Dan pada kenyataannya ,saat ini, perusahaan-perusahaan besar seperti
Facebook, Google, Apple, dan Microsoft sedang melakukan penelitian
besar-besaran terhadap bidang ini. Perubahan yang besar dalam kehidupan di
sunia ini, jelas sedang terjadi.Sedan[1]gkan
kita justru mundur jauh ke belakang seperti pada jaman penjajahan belanda
dengan politik etisnya dulu,yang membentuk sistem pendidikan yang bisa mencetak
kuli dan jongos bangsa belanda.Kalau kini jelas bangsa asing dan pemilik modal.
Pada awal tahun 2016 yang
lalu, DeepMind, perusahaan kecerdasan artifisial yang dimiliki oleh Google,
mengalahkan manusia dalam permainan “Go”.Satu hal yang sebelum ini dianggap sebagai tantangan
terbesar dalam bidang Kecerdasan artifisial..Dalam permainan itu, Deep Mind
menggunakan “deep learning”, sebuah bentuk kecerdasan artifisial yang
menggunakan banyak algorithma sehingga sebuah komputer bisa mensimulasikan
jaringan syaraf manusia yang bisa belajar melalui pengalaman.Ini merupakan
lompatan yang sangat jauh yang dihasilkan oleh manusia. Sejak itu, banyak ahli
kecerdasan artfisial yang berpendapat bahwa kecerdasan artifisial akan banyak dijumpai dalam kehidupan manusia
dalam jangka waktu dua dekade ke depan .
Kepala Laboratorium Ilmu Komputer dan Kecerdasan Artifisial
(AI) di MIT, mengatakan bahwa kita tak lama lagi berada di dunia “dimana semua
orang bisa mempunyai robot dan banyak robot akan ditemukan dalam segala lini
kehidupan,” Lalu bagaimana Indonesia menyikapi hal ini?
Seperti yang dijelaskan di atas,
kemajuan pendidikan yang menghasilkan teknologi kecerdasan artifisialyang
berkembang pesat berdampak pada banyaknya pekerjaan yang akan diambil alih oleh
kecerdasan artifisial dengan penerapan otomasi di semua bidang kerja
(automation) sehingga akan ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan.
Sebagai negara berkembang, Indonesia
memiliki banyak tenaga kerja dengan upah rendah yang bekerja di berbagai pabrik
besar. Jika tugas-tugas dalam pabrik sudah diambil alih oleh teknologi
kecerdasan artifisial, darimana lagi para buruh ,karyawan ddan pekerja bisa
mendapatkan uang untuk menopang kehidupannya ?
Dampak negatif dari sistem otomasi
yang paling besar yang akan dialami oleh
negara –negara berkembang karena ekonomi mereka banyak mengandalkan barang
murah yang dibuat oleh buruh dengan upah yang rendah adalah semakin banyaknya
pengangguranJika negara maju bisa memenuhi kebutuhan barang mereka
dengan teknologi kecerdasan artifisial yang mereka miliki, maka negara maju
tidak lagi memerlukan ekspor produk dari negara berkembang.
Adalah kenyataan,bahwa hampir semua
paten teknologi kecerdasan artifisial dimiliki oleh negara maju seperti Amerika
Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa. Sementara negara kita?Tahun 2016 ini
negara kita masih baru memulai riset ilmu dasar yang didanai oleh Dana Ilmu
Pengetahuan Indonesia (DIPI).Sebelumnya ilmu pengetahuan dan teknologi kita
masih berkutat dalam masalah pendanaan yang minim dan infrastruktur yang lemah.
Indonesia saat ini harus melakukan
“Revolusi Pendidikan” sebagai langkah persiapan. Apa yang diarahkan
Presiden Joko Widodo kepada Menteri Pendidikan yang baru merupakan
kesalahan yang harus segera diperbaiki.Bukanlah langkah yang tepat menjadikan
pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja.Sekalipun tenaga kerja yang sangat siap
dipakai .Persoalannya adalah dipakai oleh siapa? Dan ketenagakerjaan bukan
esensi dari pendidikan, apalagi di masa sekarang dimana pekerjaan bisa
digantikan oleh teknologi kecerdsan artifisial ataupun robot.
Bagaimana mendidik anak-anak kita
agar memiliki karakter manusia yang kompeten adalah hal yang terpenting yang
sangat mendasar.Manusia yang visioner, mempunyai jiwa kepemimpinan yang
tangguh, ulet,rasa ingin tahu yang kuat, mencintai belajar, serta
pandai bersosialisasi lebih dibutuhkan di masa mendatang. Karakter-karakter ini
merupakan kecerdasan yang hanya dimiliki oleh manusia adalah sesuatu yang tidak
bisa digantikan oleh robot atau teknologi artifisial macam apapun. Akankah
kita siapkan mereka seperti robot?Atau menjadi kuli? Atau menjadi manusia
pengatur dan pencipta robot yang mampu memanage para kuli?Mudah-mudahan kita
tidak terjebak pada sistem pendidikan yang menjadikan anak-anak kita menjadi
bangsa kuli atau robot yang hanya akan melayani majikannya para pemilik modal
aasing. Semoga Pemerintah Presiden ,para menteri,pejabat-pejabat negara dan
juga para pengambil kebijakan di negeri ini mempertimbangkan hal ini dalam
strategi pendidikan negara kita. Anak-anak yang kita didik hari ini adalah
mereka yang akan menjadi “pekerja” 20 tahun yang akan datang dan akan menjadi
pewaris ketika kita berusia tua atau tiada nanti.
&&&
Komentar