PENDIDIKAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM

HOME  ARTIKEL   RUANG BELAJAR    APRESIASI   HIKMAH   NGAJI   


PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN MASYARAKAT,
ANTARA REALITA ,SEJARAH DAN IDEALISME ISLAM
MULYANTO,TE
GURU SMPN 12 MUKOMUKO ,KEC.SUNGAI RUMBAI 
KAB.MUKOMUKO 
PROPINSI BENGKULU 38366

Guru pada tatanan kehidupan masyarakat merupakan profesi yang istimewa karena posisinya yang menempati wilayah strategis dalam membangun pondasi pengembangan potensi peserta didik yang akan memberi warna pada generasi yang akan datang .Hal ini merupakan realita alami yang harusnya dimengerti oleh semua pihak ,semua unsur masyarakat .Baik itu para pejabat ,pemimpin ummat atau rakyat biasa dan tentunya oleh para guru itu ssendiri yang menjadi tulang punggung bagi tanggung jawab tersebut .
Tanggung jawab untuk mengembangkan semua potensi peserta didik merupakan beban yang cukup berat.Sebuah beban yang secara hakiki harus dipikul dengan rasa penuh tanggung jawab dan menuntut dedikasi yang tinggi dari semua guru di semua jenjang pendidikan.Apalagi guru yang bekerja pada jenjang pendidikan dasar.Kegagalan guru pada jenjang pendidikan ini akan mempengaruhi keberhasilan guru pada jenjang pendidikan selanjutnya.Ini merupakan konsekuensi  logis dari penunaian tanggung jawab guru-guru di setiap jenjang pendidikan tersebut.Berhasil atau tidaknya peserta didik sangat dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya guru di setiap jenjang pendidikan dalam mengembangkan potensi peserta didik mereka.
Implikasi dari hal-hal tersebut adalah semua guru di tingkat pendidikan harus memenuhi kualifikasi standar yang menyangkut tugas-tugas pokok sebagai pendidik . Seharusnya pemenuhan kualifikasi guru di jenjang ini menjadi prioritas utama rekrutmen tenaga pendidik di Indonesia.
Sebenarnya negara telah menetapkan standarisasi pendidikan di Indonesia ,termasuk dalam hal ini kualifikasi tenaga pendidik.Sistem Pendidikan Nasional telah diundangkan dengan diterbitkan Undang-undang tentang sistem pendidikan nasional maupun Undang-undang guru pun sudah diterbitkan.Namun kenyataannya penerapan kedua undang-undang tersebut hanya menyentuh bagian kulit luar dari pendidikan ,masih jauh dari esensi dari penyelengggaraan pendidikan yang ideal.
Sejauh ini belum ada jaminan bahwa pendidikan di Indonesia akan menjadi lebih baik dan kompetitif menghadapi persaingan global.Bahkan meskipun sudah dibentuk Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) di tingkat nasional dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di tingkat daerah.Namun semuanya belum mampu mendorong  perubahan yang mengarah pada perbaikan mutu pendidikan.Yang terjadi justru kelihatan perilaku pemerintah yang kebingungan dengan kebijakan-kebijakan yang mudah berubah ubah.Sehingga di tingkat pelaksana pendidikan (baca : guru ) di semua jenjang pun ikut kebingungan mengikuti kebijakan –kebijakan tersebut.
Dengan pola orang bingung tersebut pendidikan di Indonesia ke depan tambah tidak keruan bentuknya.Hasilnya pun demikian.Guru yang harusnya berperan sesuai fungsinya kemudian hanya bekerja untuk mendapatkan sejumput status guru bersertifikasi yang mendapatkan hak atas tunjangan sertifikasi.Status yang memanjakan guru dengan imbalan materi yang sebenarnya untuk mengangkat martabat guru itu akhirnya menjadi bumerang bagi dunia pendidikan di Indonesia.Guru tidak lagi dihormati sebagai yang digugu dan ditiru,tetapi dihormati karena status sosial secara material .Guru yang seharusnya menjadi petugas fungsional negara yang istimewa berubah menjadi pekerja biasa sebagaimana buruh dan pekerja lainnya yang berkerja kemudian mendapat upahnya yang layak menurut undang-undang negara.Sebuah pertunjukan profesionalitas yang mirip dengan profesionalitas ahli sihir Fir’aun yang ketika dikontrak Fir’aun untuk melawan Nabi Musa,mereka  mengatakan :

“ Dan datanglah tukang-tukang sihir itu ,erkata mereka :"apakah akan ada upah untuk kami bila kami menang dalam urusan ini ? “ QS:7:113
Ditinjau dari sudut apa pun peran guru yang dibatasi dengan status material akan memerosotkan kualitas hasil kerjanya.Semangat kerjanya hanya dimotivasi secara dangkal dengan memperoleh imbalan duniawi yang “pantas “.Yang kemudian bisa tidur lelap karena kecukupan materi tanpa perlu lagi memikirkan hasil produknya di masa mendatang.Entah bagaimana jadinya,itu urusan nanti.Tak lagi ada idealisme dalam benak maupun kenyataan kerja.Semua dinilai dengan sejumput dunia.Padahal sifat dunia ini tak pernah bisa memuaskan siapapun yang memilikinya.
(hadits manusia tidak puas kecuali setelah mulutnya disumpal tanah )
Guru dalam pandangan Islam adalah ulama,ahlul ilmi yang memikul beban mengantar manusia menuju cahaya kebenaran.Mereka berhak diikuti dan ditaati karena ilmu dan akhlaknya yang agung.Guru dalam Islam benar-benar “digugu dan ditiru “.Ia menjadi patokan atau standar bagi akhlak dan ilmu pengetahuan.Oleh karenanya memotivasi guru dengan memberi iming-iming materi yang menggiurkan merupakan tindakan yang salah besar.Karena hal itu bisa menurunkan martabat hakiki seorang  guru serta bisa menghilangkan haknya untuk digugu dan ditiru.Bukankah sudah nampak tanda-tandanya di masa kini?Banyaknya kasus pelecehan terhadap guru oleh siswanya atau oleh masyarakat menunjukkan indikasi hal-hal itu telah terjadi di masyarakat .Surat Yaasin :21
“…ikutilah oleh kalian orang yang tidak meminta upah dari kalian dan mereka termasuk orang-orang yang memperoleh hidayah…” QS:36;21
Dari ayat tersebut ,jelas bahwa guru yang berhak untuk digugu dan ditiru adalah yang tidak menuntut upah dari orang-orang yang dididiknya.Kenyataannya sekarang tidak demikian,guru modern karena pengaruh globalisasi menuntut upah yang”lebih baik”.Guru sudah menjadi profesi yang tak jauh sebagaimana para pekerja buruh dan begitulah sehingga guru modern dalam pandangan Islam sudah kehilangan hak untuk digugu dan ditiru.Guru modern sudah berubah menjadi “wagu tur saru “ karena orientasi keduniaan yang mendominasi aktifitas yang dilakukannya dalam dunia pendidikan.
Seharusnyalah dengan mengamati berbagai tragedi yang telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa,mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut   dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, menyadarkan kita betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. Ini semua merupakan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang sekularistik-materialistik. Semuanya harus dimaterialkan,termasuk jasa guru yang sebenarnya abstrak.Seharusnya kita menyadari bahwa hasil kerja pendidikan itu bersifat sistemik jangka panjang. Bukan instan seperti mie….,sesaat disedu saat itu pula dinikmati.
Dampak sosial ekonomi akibat perubahan orientasi kerja guru-guru dalam skala nasional akan menyebabkan penyimpangan pendidikan yang diterima masyarakat.  Masyarakat Indonesia di masa mendatang akan senantiasa mengalami krisis multidimensional yang berkepanjangan dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kezaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk penyakit sosial lainnya akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akan banyak orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Pendidikan formal tak lagi mampu menciptakan kepemimpinan yang cerdas dan  bersifat negarawan.Lebih banyak tercetak pemimpin yang culas dan suka menokohi rakyatnya.
Sekarang ini pun sebenarnya kita sudah merasakan hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi.Orang yang mencari harta halal dikejar-kejar satpol PP karena dianggap mengotori wajah kota. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat pengelolaan ekonomi negara  yang berbasis riba. Bagi mereka yang lemah iman,  berbagai kesulitan yang dihadapi itu mendorongnya melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta  pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif,  pornografi merajalela dan menguat menjadi budaya “baru “.Bahkan kita sudah mengakui masuk ke dalam “lubang biawak narkoba” sehingga negara,dalam hal ini pemerintah, menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.Itu semua merupakan dampak penerapan sistem kehidupan sekuleristik -materialistik  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,termasuk dalam pendidikan dan kaderisasi formal masyarakat .Itu semua hasil pendidikan di negara kita.Dan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan di Indonesia berperan besar terhadap perubahan negatif di masyarakat  sebagai akibat pelaksanaan sistem pendidikan sekuleristik dengan segala kebijakan pendukungnya.
Dalam sistem sekuler,  aturan-aturan Islam memang  secara sengaja tidak  digunakan. Agama Islam,hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Agama telah diamputasi dan dikebiri. Dimasukkan dalam satu kotak tersendiri sedangkan kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan sekuler, agama (Islam) ditinggalkan. Kalaupun ada pelajaran agama pada setiap jenjang pendidikan,itu pun hanya sebagai pengetahuan .Agama(Islam ) sebagai islamologi yang tidak membumi dan tidak mempengaruhi akhlak dan keyakinan peserta didik.Akibatnya, lahirlah berbagai bentuk  tatanan masyarakat hasil pendidikan yang dilaksanakan oleh para guru di sekolah yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan sosial ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik .Semuanya ,termasuk sistem pendidikan masyarakat terpengaruh dengan tatanan tersebut.
Sementara itu, sistem  pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai ilmu pengetahuan, dan teknologi (IPTEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi  pendidikan ini telah dimulai  sejak adanya dua kurikulum pendidikan  keluaran dua kementrian yang berbeda, yakni  Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan .  Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (IPTEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama.  Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang tidak bersandar pada nilai-nilai agama sama sekali.
Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik  memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.  Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual. Nilai transendental dirasa  tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan.  Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga. Ini semua merupakan “prestasi” dan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang sekularistik-materialistik.Profesi guru dalam ranah sistem sekuler-materialistik ini hanya ditempatkan sebagaimana pekerja lainnya,seperti buruh,karyawan dan lain sebagainya.Tuntutan kerjanya hanya jam kerja dengan target-target material yang dibuktikan dengan segala bentuk administrasi formal sebagai bukti fisik kinerjanya.Suatu hal yang sangat diragukan akan menghasilkan produk pendidikan dengan mental yang sehat.Terbukti dengan hasil sebuah poll yang diadakan oleh sebuah media massa,yang menyatakan bahwa para koruptor kebanyakan adalah orang pintar hasil didikan perguruan tinggi.(Harian Rakyat Bengkulu ,10 Desember 2016 ).
Tata nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi Tata nilai masyarakat modern yang bercorak sekuler membentuk permissive society.Salah satu akibatnya adalah  keberadaan dan peran lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.Selain itu masyarakat dikuasai oleh ambisi karier dan materi yang tidak terkendali sehingga hubungan interpersonal baik dalam keluarga ,tempat kerja maupun masyarakat tergganggu.Termasuk hubungan antara para pendidik , guru dengan siswa dan orang tua siswa di sekolah-sekolah.
Kepribadian peserta didik mengalami keguncangan citra diri (disturbance of self image) dan keperibadian yang pecah (split personality) sehingga tidak memiliki kepribadian yang islami (Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah).Mudah putus asa menghadapi kesulian hidup,berjiwa rapuh ,egois dan hedonis. Pola hidup masyarakat bergeser dari sosial-religius ke arah masyarakat individual materialistis dan sekuler.Masyarakat mengalami perubahan dari Pola hidup sederhana dan produktif menjadi cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.Dan suatu ketika nanti Indonesia hanya akan menjadi pasar besar dunia.Potensi jumlah penduduk yang sangat besar hanya akan berperan menjadi konsumen.Meskipun sekarang pun sebenarnya kita sudah memasuki era tersebut.Berapa banyak produk asing yang menguasai pasar yang bernama Indonesia,bahkan kini telah merambah pasar kerja informal.Lihat saja berita pekerja informl dari china yang masuk Indonesia lewat proyek kereta api di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Struktur keluarga yang menjadi pondamen kekuatan sosial masyarakat yang semula extended family cenderung berubah ke arah nuclear family bahkan menuju single parent family.Hubungan keluarga yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh.Merebaknya pornografi dan porno aksi di kalangan anak muda merupakan indikasi terjadinya pergeseran peran keluarga sebagai benteng sosial.Dan ini akan berdampak secara luas dalam bentuk ketidakpedulian dalam hubungan antar komponen masyarakat.Dan meluas menjadi ketidakpedulian antar komponen bangsa yang dalam jangka panjang akan menghancurkan akhlak dan kebhinekaan bangsa Indonesia .
Semua itu diperparah lagi dengan gerakan deradikalisasi dengan tindakan berlebihan terhadap semua komponen ummat Islam yang dipertontonkan secara mencolok membuat gerakan nahi munkar terkebiri sehingga kemungkaran semakin merajalela.Guru yang hebat dan perubahan kurikulum pendidikan yang bagaimanapun akan gagal membentuk karakter manusia yang sempurna selama masih bertumpu pada sistem materialisme ini.
Peran Guru dalam Paradigma Pendidikan  Islam
Untuk mendapatkan hasil pendidikan yang mampu mengangkat harkat kemanusiaan perlu perubahan paradigma pendidikan yang harus dilakukan secara konsisten.Tanpa itu maka pendidikan yang dilaksanakan hanya seperti fatamorgana,dilihat ada,ditangkap hilang tak berbekas.Meninggalkan kekecewaan dan penyesalan yang berkepanjangan.Memicu ketidakpuasan dalam skala yang luas dan berbahaya dalam jangka panjang karena pendidikan secara hakiki merupakan ciri kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain.(QS:Al Alaq:1-5 ),karena manusia merupakan makhluk belajar.
Perubahan mendasar pertama yang harus dilakukan adalah perubahan orientasi pendidikan atau niat kemauan.Selama ini orientasi pendidikan hanya pada produk yang bersifat material keduniaan.Orientasi pendidikan dan niat kemauan ini harus diubah menjadi orientasi akhirat atau niatan untuk memperoleh hasil di akhirat.Bukankah niat baik itu sudah dicatat oleh Alloh sebagai satu kebaikan meskipun belum terlaksana ?(al hadits).Orientasi akhirat akan mendorong seseorang untuk bekerja tanpa harus diperintah,disiplin tanpa harus diawasi,efisien tanpa harus diperiksa.Pekerjaan yang dilakukan akan dilaksanakan secara optimal.
Dan sifat-sifat kemanusiaan yang baik akan segera muncul mengiring setiap aksi yang dilakukan.Sistem pendidikan Islam akan memberi bekas di hati peserta didik,sehingga memberi kekuatan yang luar biasa .Keberhasilan yang diraih akan mendorongnya untuk bersyukur,sedangkan kegagalan yang dialaminya akan memicu keikhlasan menerima.Sebagai bukti hal-hal  tersebut adalah peristiwa yang menimpa anak-anak Pidie Aceh ketika terjadi gempa yang menghancurkan kampung mereka,dan merenggut sebagian orang-orang yang mereka kasihi.Healing trauma yang dilakukan para relawan kepada anak-anak tersebut mampu memulihkan psikis meraka dengan cepat.Dan menurut Ketua LPA(Lembaga Perlindungan Anak) Seto Mulyadi,hal itu disebabkan oleh pendidikan agama (Islam ) yang kuat di lingkungan pengungsian.( Harian Rakyat Bengkulu,16 Desember 2016 )
Karakter rakyat Aceh seperti itu harus   kita fahami sebagai keberhasilan Islam yang telah mendarah daging dengan penerapan sebuah sistem pendidikan yang unggul.Islam sebagai agama telah mampu memberi bentuk kekuatan mental ideologi yang tak pernah redup dalam kehidupan rakyat aceh.Kebaikan Sistem Pendidikan Islam talah mampu mendorong upaya mengubah mental dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi tertentu (Islam). Ini adalah bukti nyata di masa kini yang tak terbantahkan lagi.Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu ideologi/aqidah Islam. Inilah paradigma dasar  Pendidikan Islam,yang sangat diperlukan bangsa Indonesia yang tengah terpuruk ini.
 Berkaitan dengan itu pula secara pasti tujuan  pendidikan Islam dapat ditentukan, yaitu menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti cara berfikirnya berdasarkan nilai Islam dan berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam dan bekerja secara profesional secara Islam. Begitu pula, metode pendidikan dan pengajarannya dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka paradigma pendidikan Islam ini maka diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah (negara) terhadap perilaku guru sebagai agen perubahan dan peserta didik sebagai kader perubahan, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi Islami yang berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilai keyakinan (aqidah)nya. Tahapan yang kedua kemudian adalah tahap merealisasikan konsep-konsep tersebut dalam sebuah  program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi, berkesinambungan dengan tujuan pendidikan Islam di atas. Di sinilah peran guru menjadi sangat vital karena merekalah yang harus memikul tanggung jawab realisasi program tersebut di lapangan.Oleh sebab itu optimalisasi peran guru dalam hal ini menjadi sangat penting .Sebagai langkah awal yang diperlukan oleh semua guru adalah  pemahaman tentang dasar-dasar pribadi/individu dan tahap kejiwaannya peserta didiknya yang dilandasi oleh niat ikhlas beramal sholeh dengan mendidik anak manusia.
Kurikulum pendidikan Islam dibangun di atas landasan aqidah Islam ,sehingga setiap pelajaran dan metodologi pengajarannya disusun selaras  dengan landasan itu. Konsekuensi terhadap hal itu adalah waktu pelajaran untuk pemahaman tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang  besar pada setiap mata pelajaran di semua jenjang pendidikan.Hal ini  dilakukan dalam rangka membangun kerangka pemahaman ilmu yang benar,dan terpadu dan terikat erat dengan metodologi pengajarannya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Di tingkat pendidikan dasar dapat diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dasar secara sederhana sebagai sarana mengenali keberadaan Sang Pencipta.Pengajaran ilmu di tingkat ini diarahkan untuk membentuk akidah yang kuat,dan akhlak yang baik serta memotivasi peserta didik untuk mengeksplorasi alam lingkungannya sebagai sumber ilmu.Ilmu pengetahuan terapan yang diajarkan di jenjang pendidikan dasar ini dipakai untuk memicu kreatifitas berfikir dalam upaya pengembangan diri pada aspek psikomotor.
Di tingkat pendidikan lanjutan dapat diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan dasar secara lebih mendalam.Pengajaran ilmu pengetahuan di tingkat ini diarahkan sebagai sarana mengasah kemampuan analitis dalam mengekplorasi alam lingkungannya.Selain itu pembinaan mental akidah dan kepemimpinan dapat dilakukan secara lebih intensif sebagai upaya pengembangan diri dan pembentukan sikap kritis terhadap hal-hal yang terjadi di masyarakat.Pada jenjang pendidikan lanjutan ini juga dapat diajarkan ilmu-ilmu terapan yang memberi bekal ketrampilan hidup (life skill )kepada peserta didik untuk bekal kehidupannya .
Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya,  tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum muslimin setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan sebagai ilmu bukan doktrin yang harus dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan difahami mengenai cacat-celanya, dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.Selain itu pada jenjang ini diajarkan pula berorganisasi,dan pengetahuan spesial yang diperlukan negara dan masyarakat.
Pada jenjang Perguruan Tinggi ini tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman, ataupun jurusan lainnya, seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik dll. Sehingga peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dari model sistem pendidikan Islam seperti inilah maka kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekuler-kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan hal inilah generasi yang akan dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya dan sekaligus dia memahami nilai-nilai Islam, serta berkepribadian Islam yang utuh. Tidak akan terjadi pemisahan yang berarti antara ilmu agama dan ilmu duniawi. Sebab semua komponen pendidikan didorong untuk memahami bahwa semua ilmu adalah milik Allah dan semua penuntut ilmu wajib mengamalkan sesuai dengan syariat Islam.
Dari model sistem pendidikan Islam seperti di atas akan lahir para pendidik yang mampu memikul tanggung jawab sebagaimana tulang punggung yang menegakkan tubuh dan menopang kekuatan badan.Dan semua itu bisa terealisasi jika semua komponen ummat bersinergi memadukan seluruh potensi dan kekuatan dengan penuh kesadaran.Dan untuk itu diperlukan guru-guru dan pendidik yang memenuhi kriteria yang mencukupi.Kriteria tersebut antara lain :
 1.  BerKepribadian Islam
Kriteria  ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim yang menjadi pendidik, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Berkaitan dengan pengembangan keperibadian guru dalam Islam ini, paling tidak terdapat tiga langkah upaya pembentukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu (1) menanamkan aqidah Islam kepada para guru dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah; aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2) mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah Islam yang diyakininya. (3) mengembangkan kepribadian  dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
 2.  Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal.
Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu berdasarkan takaran kewajibannya menurut  Al Ghazali dibagi dalam dua kategori, yaitu (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll. (2) ilmu yang dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Berkaitan dnegan tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antarnegara. Dengan demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya bukan hanya bahasa Inggris.Hal ini karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran dan As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya.
 3.  Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi) serta mampu melakukan inovasi di bidang pendidikan.
Penguasaan penetahuan ,ilmu dan teknologi diperlukan agar peserta didik mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimia, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dan sebagainya. Pada hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri. Berkaitan dnegan akal, Allah swt. telah memuliakan manusia dnegan akalnya. Akal merupakan faktor penentu yang melebihkan manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu yang berharga. Allah menurunkan Al Quran dan mengutus RasulNya dengan membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai pengetahuan ,ilmu dan teknologi, sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa  Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata mutakhir, terutama  alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.
 4.  memiliki skills/ketrampilan mengajar yang sesuai dengan bidang tugasnya
     Perhatian besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan islam. Penguasaan ketrampilan mengajar yang sesuai dengan bidang kerja ini merupakan tuntutan yang sifatnya harus , dalam rangka pelaksanaan amanah Allah sebagai guru. Penguasaan ketrampilan mengajar bisa dikuatkan dengan cara kerjasama antar guru yang bidang tugasnya sama dan kerjasama antar guru lintas bidang kerja. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah.
 Referensi Historis Penyelenggaran Pendidikan Islam
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan alternatif penyelesaian terhadap berbagai problematika yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan keadaan fitrah manusia, termasuk perkara pendidikan. Dalam Islam, Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah dan lembaga pendidikan, metode pengajaran,serta bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw. memerintahkan dalam haditsnya: “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Perhatian Rasulullah  saw. terhadap dunia pendidikan tampak  ketika beliau saw. menetapkan keputusan agar para tawanan perang Badar dapat bebas maka merekapara tawanan tersebut diharuskan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan bagi para tawanan agar bisa bebas. Perkara yang beliau saw. lakukan tersebut adalah contoh bukti sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan kepala negara berkaitan dengan pendidikan.Kepala negara bertanggung jawab penuh terhadap setiap kebutuhan rakyatnya termasuk pendidikan. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan perang Badar. Dengan tindakan yang seperti itu, yaitu membebankan pembebasan tawanan perang badar kepada Baitul maal (kas negara) dengan memerinahkan mereka mengajarkan baca tulis, berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, beliau memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik kas negara.
            Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah)  berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, termasuk menunjuk dan mengangkat orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian sangat besar dari para khalifah (kepala negara) terhadap pendidikan rakyatnya .Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Gaji dan tunjangan diberikan agar para pendidik berfungsi dengan benar dan tidak melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan .Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).
Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” .
Hadits-hadits tersebut memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) termasuk guru/pendidik untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan oleh negara. Jika kita membayangkan seandainya aturan Islam diterapkan maka tentu saja tenaga pendidik maupun pejabat lain dalam struktur pemerintahan akan merasa tentram bekerja dan benar-benar melayani kemaslahatan masyarakat tanpa pamrih sebab seluruh kebutuhan hidupnya terjamin dan memuaskan.  Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar tujuh  juta lima ratus ribu rupiah dengan harga emas sekarang).
Dalam sejarah pekembangan Islam ternyata perhatian para kepala negara kaum muslimin (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik  dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium,dan sarana-sarana pendidikan lainnya. Di antara perpustakaan yang terkenal dalam sejarah Islam adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, serta peralatan lain untuk belajar dan menulis hasil studi mereka. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasan karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Sehingga para pendidik,saat itu sangat produktif dalam melahirkan gagasan dan menuliskannya sebagai buku.
Negara tidak memperbolehkan memberikan hak istimewa dalam mengarang buku-buku bagi pendidikan untuk semua tingkatan. Seseorang baik pengarang atau penyusun buku tidak boleh memiliki hak cipta atau hak terbit secara pribadi.Semua dikembalikan kepada Allah yang memberi hidayah dan inayah kepada para penulis dan penyusun buku tersebut. Jika sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan maka hak penerbitan dimiliki oleh negara sebagai amanat untuk kemashlahatan masyarakat. Hanya saja jika masih dalam bentuk pemikiran yang dimiliki seseorang dan belum dicetak ataupun diedarkan maka seseorang boleh memperoleh imbalan atauapun bayaran, sebagaimana layaknya bayaran untuk orang yang mengajarkan ilmu .Bagaimana dengan kita ?
Dana , Sarana, dan Prasana Pendidilkan
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (lihat Al Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul maal (kas negara). Sistem pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijma’ shahabat yang memberi gaji kepada para pendidik dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Contoh nyata dalam sejarah adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada Sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Begitu pula dengan  Madrasah An Nuriah di damaskus yang didirikan pada abad keenam hijriyah oleh khalifah Sultan Nuruddin Muhammad zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain , seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi. Dan jauh sebelumnya Ad Damsyiqi mengisahkan dari Al Wadliyah bin atha’ bahwa khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah  masing-masing sebesar 15 dinar  emas setiap bulan (1 dinar=4,25 gram emas)
Media pendidikan adalah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan seharusnya dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar -audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Pengamatan dan studi secara mendalam atas semua hal di atas,  membawa  kita pada  satu kesimpulan: bahwa  dalam sistem Pendidikan sekuler,guru mempunyai peran besar dalam menjauhkan  masyarakat dari hakikat kehidupannya sendiri. Hasil pendidikan yang dilakukan guru mendorong masyarakat berpaling dari hakikat visi dan misi penciptaannya . Akibat langsung dari pendidikan sekuler pada sistem pendidikan yang diberlakukan secara nasional menyebabkan kehidupan beragama dipandang sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan masyarakat. Agama (Islam) tidak lagi berperan sebagai pengendali motivasi manusia (driving integrating motive) atau faktor pendorong (unifying factor).Sedangkan dalam Sistem Pendidikan Islam,guru diberi ruang gerak dan fasilitas yang sangat memadai untuk melaksanakan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan output pendidikan yang benar-benar bermanfaat untuk masyarakat.
diperbaiki tgl 16 juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUANG KATA

UMBUT MUDA BERKARYA

RUANG CERPEN