APRESIASI SASTRA
CERPEN BULAN INI PUISIKU CERBUNG CERGAM
WARISAN
|
Mulyanto TE
Panas yang mendidihkan aspal jalanan memanggang
kulit memeras keringatku hingga tetesannya
deras membanjir di kaos yang kukenakan. Kaos yang sudah
pudar warnanya
itu telah basah oleh peluh yang menetes bagai pohon karet ditakik. Sudah sejak pagi aku berkeliling dengan sepeda yang
serenta usianya dengan diriku
sendiri. Berkeliling dari lorong
ke
lorong. Mataku yang
sudah terlatih dengan cepat bisa mendeteksi
mana barang yang bisa dijadikan uang dan mana barang-barang
yang betul-betul hanya sampah.Telah empat puluh tahun usiaku. Mulai terasa lutut
tuaku tidak sebugar dulu. Kelelahan menumpuk
di tubuhku yang terlihat kerempeng menggendong keranjang dari anyaman bambu.
Kugenjot sepeda rentaku
dengan tatapan yang pasti. Di
kanan kiri sepeda ada
keranjang dari anyaman bambu memeluk
erat
boncengan di
belakang sadel. Keranjang itu satu sisi berisi puluhan botol-botol sirup dan kecap kosong. Sisi yang lain adalah kertas- kertas koran. Sisi kiri memang khusus untuk itu. Bunyi botol kosong yang beradu, derit rantai yang
jarang tersiram oli pelumas,
dan jerit ban sepeda yang sedikit kempes menggerus panas aspal jalanan, meneriakkan penat setelah
berlari memanggul beban seharian.
Di depan mataku
sudah
terbayang rumah Mang Kobet,tempat
pengepul barang-barang
rongsok. Sudah banyak orang yang antri di sana. Harus sabar menunggu. Perjuanganku me-
ngumpulkan barang-barang rongsok berakhir di sini. “Hehhhhhh.....!” Aku menghembuskan napas lega.Hmm, tak perlu tergesa-gesa. Ada sesuatu yang harus disortir. Dipilih sebelum ditimbang oleh Mang Kobet.Sambil menunggu giliran aku bisa
istirahat melepas lelah.Kuteguk air di botol bekalku.
Tadi siang banyak
orang yang berdemo di depan balai kota. Mereka kepanasan dan
memakai koran
untuk menahan panas. Setelah puas berdemo, koran-koran itu
dibiarkan begitu saja, diterbangkan oleh angin
ke
sana ke mari. Rezeki. Dengan penuh semangat aku berlarian ke sana ke mari. Mengejar koran-koran yang beterbangan. Tidak semuanya bisa kurengkuh. Ada yang
terbang, hilang entah ke mana atau kotor sebagian masuk comberan
selokan di pinggir jalan, kebanyakan koran Minggu. Aha...! Hatiku bersorak
gembira. lnilah koran yang dicarinya. Lumayan juga koran yang berhasil kuperoleh. Beberapa koran terinjak dan sobek.
Nanti bisa disambung dengan isolasi bening.
Tak mengapa. Tiga puluh menit kemudian, ku tebarkan pandangan.
Jalanan jadi bersih.ada rasa puas menjalari hatiku.Setidaknya
meskipun aku pemulung aku ikut andil membersihkan kotaku.Sebuah andil yang tak
pernah dicatat ketika kotaku mendapat piala adipura kencana.
Napasku memburu berat berbenturan dengan panas yang mencocor kepalaku. Aku memang harus bergerak cepat, sebelum diserbu oleh
pemulung lain. Aku merapikan koran-koran itu. Namun sungguh, aku tidak ingin
jadi orang yang serakah.Kubiarkan beberapa teman memunguti koran yang
terheletak di sampingku. Aku hanya memilih koran-koran yang
ada cerpen, esai budaya, atau artikel menarik lainnya. Selain itu
aku akan membiarkan koran itu diambil oleh pemulung lain jika
ada pemulung yang menginginkan.Dan
mereka senang dengan perilakuku itu.Tak pernah mereka merasa kesaingan dengan
kehadiranku di sisi mereka pada saat bersama-sama memulung di tempat pembuangan
akhir sampah yang terletak di ujung kotaku ini.
Nanar mataku berbuncah perasaan bahagia. Kelelahanku terbalas sudah. Membungkuk-bungkuk menjumput koran telah membuat punggung tuaku terasa pegal. Kurengkuh sekali lagi air dalam botol. Kuteguk setelah
kuucapkan bismillah dengan kesegaran tiada tara.Seakan meneguk air telaga kautsar
seperti kisah dalam hadits Nabi yang kubaca dalam buku yang kubeli beberapa
hari lalu.
Aku masuk ke pekarangan rumah
peninggalan Ibu yang belum pernah kurehab barang sekalipun, terus kuhentikan sepeda di
depan rumah.Sepeda itu dibiarkan tergeletak.Seperti anak kecil yang taat diperintah
bapaknya sepedaku itu diam di tempat menunggu.Tidak jatuh karena terganjal keranjang bambu. Dengan lincah tanganku mengambil koran- koran di
keranjang muatan sepeda itu. Kakiku otomatis
sudah tahu harus
ke mana bergerak
setelah itu. Di bawah pohon
akasia yang teduh. Angin sepoi mendinginkan tubuhku yang masih berpeluh. Kuturunkan tas yang ada di punggung. Tas yang berisi gunting, lem, dan kertas-kertas tulisanku
sendiri. Kebanyakan tulisan
itu berupa cerpen yang
kutulis tangan dengan bolpen duaribuan.
“Belajar ya Kang, mau ujian?” sindir salah seorang teman sesama
pemulung yang lewat di sebelahku. Aku terkekeh. Mereka memang tidak peduli pada dunianya.Sekolah buat mereka tidak penting.Memboroskan
uang dan waktu yang mestinya bisa dipakai untuk kesenangan dan mencari
kehidupan.Yah....,tak terlintas dalam pikiran mereka kecuali bagaimana dapat
barang rongsokan yang bisa dijual jadi uang.
Dengan sabar
aku
menggunting
cerpen-cerpen yang ada di
koran itu. Ada cerpen anak dan ada cerpen orang dewasa.
Aku juga menggunting
artikel esai budaya dan tak lupa artikel lain yang menarik.
Sampai di rumah biasanya
aku akan menempelkan guntingan- guntingan koran itu di buku besar. Dengan sabar pula kukumpulkan guntingan-guntingan itu kusortir dan kukelompokkan sesuai dengan
jenisnya. Di
rumahku, ada perpustakaan pribadi yang lumayan besar. Dengan koleksi yang banyak sekali .Buku- buku warisan ibuku yang pensiunan guru SD dan
buku-buku yang kubeli dari hasil jadi pemulung. Ada juga buku yang
dibeli dari hasil menulis di koran. Tak jarang
pula ada wartawan yang mengunjungi perpustakaanku ini,setelah jeprat-jepret mengambil gambar
biasanya mereka meninggalkan dua
tiga buku baru untukku,sehingga makin menambah koleksi perpustakaanku ini. Kalau ada
bursa
buku murah, dapat dipastikan uang hasil kerjaku habis untuk
beli buku, seperti tengah berpesta. Kuborong
buku-
buku itu. Setahun dua kali,
Juni dan Desember,kadang-kadang
bulan Agustus saat ada event peringatan kemerdekaan RI.
Dari hasil kerjaku aku bisa menabung sebelumnya. Harga satu buku bekas
bisa dibeli dengan uang lima ribu.Pernah aku pulang
dari bursa buku murah membawa satu karung buku.Dengan berbagai judul dan kategori
sehingga melengkapi koleksi perpustakaanku ini.
Bagiku, rumah
sekaligus perpustakaan
yang kukelola ini adalah kehidupan yang menggairahkan.
Di sini aku merasa sangat dihargai.Meskipun aku bukan lulusan sekolah
guru,namun perlakuan anak-anak dan remaja yang datang ke rumahku dan menganggapku
sebagai seorang guru yang layak mengajari mereka.Seminggu tiga kali aku akan mendongeng
di depan anak-anak. Aku mencatat
nama dan jumlah anak-anak setiap minggu, makin lama, makin banyak anak yang datang ke rumahku untuk mendengarkan dongenganku. Kadang, aku baru saja sampai di rumah, anak-anak itu sudah banyak menunggu di depan pintu. Meski tenagaku sudah terperas
sejak pagi, Aku tidak mau mengecewakan hati anak-anak itu.Tetap
kulayani keingintahuan mereka.Mereka adalah generasi yang masih murni.Dan bagiku
kedatangan mereka menjadi hiburan tersendiri setelah isteriku meninggal
menyusul ibuku beberapa tahun yang lalu.
Kemudian selepas anak-anak itu pulang, ada beberapa remaja meminta bimbingan mengarang kepadaku. Dengan
senang hati aku pun mengajari
mereka semampuku . Kegemaranku
membaca dan hobiku menulis telah mamperluas khasanah pengetahuan yang kumiliki.Pengalamanku menulis hampir empat puluh tahun adalah modal yang
lebih dari cukup untuk
membuatku
percaya diri dalam memberikan bimbingan. Inilah yang membuat rumahku yang semi permanen ini selalu penuh pijar kehidupan.Kadang-kadang para ABG itu sampai menginap
di rumahku hingga mereka selesai membuat sebuah naskah cerpen.Bila begitu,maka
suara mesin ketik akan berbunyi memenuhi ruangan hingga malam.Biasanya begitu
mereka pulang sampai di rumah esoknya naskah tersebut mereka kirim lewat surat
khusus di kantor pos dekat simpang empat di ujung jalan Suka Merindu.Kalau
beruntung naskah cerpennya dimuat di koran atau majalah,biasanya mereka kembali
ke rumahku sambil membawa makanan camilan yang kemudian habis dengan cepat
dijarah Abg-Abg yang kebetulan sedang mangkal di rumahku.Jadinya rumahku ini
mirip sanggar sastrawan sekaligus perpustakaan.
Satu demi satu para pemulung pulang.Mereka
pulang dengan
membawa peruntungan masing-masing .
“Berapa
Mang semuanya?” Tanyaku penuh keingintahuan.
Dengan cekatan Mang Kobet melihat angka
di timbangan Dacinnya. “Tiga puluh ribu,” jawabnya
enteng
sambil menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu.
“Lumayan untuk memperpanjang kehidupan sehari ini”,bisikku dalam hati.Mang Kobet
kulihat tersenyum penuh arti.Barangkali ia pun melihat sunggingan bibirku yang
ikut berekspresi memberikan gambar suasana hatiku.Aku Tak begitu
perhatian.Kubiarkan saja Mang Kobet tersenyum-senyum melihatku gembira setelah
menerima uang darinya tadi.Kakiku segera melangkah mengikuti para pemulung
lainnya keluar dari halaman rumah Mang Kobet.
Sambil berjalan menuntun sepeda aku mengumpulkan potongan koran yang tadi kuambil.Kulihat sebentar.Kubaca beberapa
head line dan judul-judul pada rubrik cerpen dan opini..Kumasukkan kembali ke dalam tas kecil yang ada
di stang sepeda lalu kusandang di punggungku. Aku memang
selalu mengistimewakan bahan-bahan kliping yang
kuambil dari koran-koran bekas tersebut.Sambil berhenti sejenak kuhela napas lalu kuambil sepeda dan
kukayuh segera
pulang.
**
Panas sudah tidak mencocor dengan garang. Matahari sudah
mulai turun dari
titik kulminasinya. Angin sepoi-sepoi dari
celah daun-daun akasia tadi telah mengirim udara
dingin, menyejukkan sejenak tubuhku yang
tadi gerah berkeringat. Sepeda yang tak lagi dibebani beban berat kukayuh menggelinding ringan.Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di rumah.
Betapa bahagia hatiku.
Di halaman rumah sudah banyak
anak-anak yang menungguku pulang.
Melihat anak-anak yang berkerumun itu membuat kelelahan yang
melekat di tubuhku
seketika hilang seakan lenyap
menguap bersama uap keringatku. Mereka adalah penyejuk hati penawar lega yang mujarab. Pagar dari layu
dan kawat berduri yang mengelilingi
rumahku memang sengaja tidak pernah kukunci membuat anak- anak itu leluasa masuk.Tak
apa.Lagi pula tak ada barang berharga di rumahku ini kecuali buku-buku yang
memenuhi lemari dan rak buku di beranda,kamar depan dan kamar sisi kiri.
“Ayo segera masuk Pak!”
“Ayo Pak!”
“Ayo Pak
!”
“Kami tak sabar menunggu akhir cerita Putri Warna-Warni,”kata
Dewi anak Pak Danu kuli bangunan yang
rumahnya di ujung gang sana sambil menggamit lengan bajuku dengan tidak sabar.
Aku memang punya teknik
bercerita yang mampu membuat anak-anak itu dibekap rasa ingin tahunya. Ceritanya tidak pernah kutuntaskan dalam satu hari. Satu cerita bisa kudongengkan dua atau tiga kali. Cerita yang
kubuat jadi nampak selalu baru. Aku
tidak pernah mengulang cerita.
Cerita itu biasanya kureka sendiri..Kadang-kadang cerita yang pernah
kudongengkan beberapa bulan yang lalu sudah kulupakan,tapi anak-anak itu bisa
mengingat dengan detil,bahkan sampai guyonan yang kusisipkan pun mereka
ingat.Biasanya mereka saling mengulang cerita-cerita tersebut ke sesamanya selama aku sibuk memasak di
dapur tak bisa melayani mereka.Riuh suara tawa mereka menirukan guyonan yang
pernah kusisipkan pada saat dulu kudongengkan cerita-cerita itu.
Aku
membuka pintu.
Sengaja aku tidak menguncinya. Hanya menutupnya
saja. Belum pernah selama
aku tinggal di sini bukuku dicuri orang.
Meskipun halaman rumahku tiap hari penuh anak-anak yang bermain menungguku
pulang .Melihat aku masuk ,anak-anak
yang berkerumun itu juga segera masuk.
“Bapak mandi dulu
ya ?! “kataku pada anak-anak itu.”Kalian gelar saja tikar,sambil menunggu
kalian boleh membaca buku cerita baru yang Bapak letakkan di meja tengah
itu”’lanjutku sambil menunjuk tempat buku yang kumaksud.Segera anak-anak itu
berhambur menggelar tikar beberapa dari mereka mengambil buku di meja.Sejenak
ruang depan rumahku itu menjadi riuh ramai.Hanya sesaat,karena tak lama
kemudian mereka sudah tenggelam dengan buku bacaan di tangannya
masing-masing.Hanya sebentar-sebentar saja terdengar suara komentar mereka
terhadap buku yang mereka baca.
Setelah membersihkan diri, aku melangkah mendekati anak-anak itu.Kukenakan kaos dan celana
panjang yang bersih. Badanku
terasa lebih segar
“Bagaimana
nasib Putri Warna-Warni,Pak?”,tanya
Denti,anak yang paling antusias dengan dongenganku.
“iya,ayo Pak
lanjutkan ceritanya!”
“Ayo lanjutin
dong...!”
Melihat hal itu aku
tebarkan pandanganku .Kuperhatikan satu-satu wajah mereka.Lalu aku tersenyum. Kunikmati
rasa bahagia melihat wajah mungil mereka yang digayuti rasa ingin tahu.Segera kuambil boneka putri
dan pangeran di
lemari sebagai ilustrasi dan peraga cerita.Kuambil nafas panjang dan berkonsentrasi sejenak.Lalu mulai mengalirlah ceritaku.
“Aku akan meminangmu Putri. Aku akan kembali
dalam dua minggu lagi. Kau akan kubawa ke istana. Tidak perlu tinggal
di tepi hutan seperti ini,”
janji Sang Pangeran.
Hati Putri Warna-Warni dipenuhi bunga bahagia. Kemudian pangeran tampan
itu pun meninggalkannya disertai dua pengawal.
Putri Warna-Warni
tidak bisa menyembunyikan ke-
bahagiaanya.
Namun tidak lama. Dia teringat penyakitnya.
“Aku tidak selalu bisa menjadi Putri yang cantik. Aku cantik
pas
ada bulan purnama. Kalau tidak ada purnama, kulitku selalu berubah-ubah terus. Kalau di dekat daun, kulitku akan berwarna hijau. Kalau duduk
di atas batu, kulitku akan berubah hitam,” kata Putri Warna-Warni lirih
seakan berbisik pada dirinya sendiri.
Wajah Putri Warna-Warni nampak
murung. Kemudian datanglah burung hantu.
“Mengapa kau berwajah murung Putri Warna-Warni?”tanyanya.
“Ada pangeran hendak meminangku. Tapi aku punya
penyakit kulit yang tidak bisa sembuh,” ucap Putri Warna-Warni nampak gusar dan sedih serta kecewa.
Burung hantu itu pun mengangguk-angguk.
“Tenang Putri, aku baru saja bertemu dengan pertapa sakti.
Kulitmu bisa
disembuhkan ...!”
Seketika
itu juga Putri nampak gembira
.Hatinya bahagia,dan harapannya kembali muncul berbuncah di hatinya.
“Apa kata pertapa sakti itu wahai burung hantu,” dia dipenuhi rasa penasaran.
“Kau akan sembuh bila memakan daging burung hantu dan burung hantu itu adalah aku!”
Anak-anak spontan ribut.
“jangan...!”
“Jangan...!”
“Jangan mau..!”
“]angan mau Putri Warna-Warni!”
“Kasihan burung hantu
itu sahabatmu, Putri Warna-Warni,”
kata yang lain.Anak-anak ribut.
Aku memang memberi jeda
dan aku tahu sikap anak anak di depanku.Biasanya anak-
anak
langsung terpancing emosinya.
“Tidak burung hantu, biarlah kulitku seperti ini terus. Aku tidak mau mengorbankan persahabatan kita.
Pinangan pangeran
tampan itu akan kutolak. Lebih baik aku tinggal di tepi hutan ini asal persahabatan kita abadi.Aku
tak ingin hidup hampa tanpa sahabat”, kata Putri Warna-Warni.Selesai Sang putri mengucap kalimatnya
itu,tiba-tiba langit berubah gelap.Mendung berpetir dengan suara menggelegar
menakutkan.
“Jderrrrr.....!”Sengaja suaraku kukeraskan mendadak.Kulihat
anak-anak di depanku ikut ketakutan .Mereka saling mendekatkan tubuh
berimpitan.Raut muka mereka nampak khawatir.
“Lalu apa yang terjadi ,Pak ?” Tanya Denti penasaran.Hanya ia yang
tidak yerlihat takut.
Kulanjutkan kemudian,setelah itu dengan tiba-tiba langit menjadi
cerah kembali.Dan keajaiban terjadi.Kulit Sang putri berubah menjadi bersih
seperti sebelum dibuang ke hutan itu. Sang Putri terkejut karena tiba-tiba burung
hantu di depan Sang putri tak kelihatan lagi.Berganti dengan seorang yang
berwajah tampan.Ialah Sang Pangeran yang berjanji akan melamar Sang Putri.Lalu Pangeran
membawa Sang Putri ke istananya.Kemudian mereka menikah dan dinobatkan menjadi
raja di negara Bumi Swarna yang makmur sentosa.
Anak-anak riuh bersorak.Hati
mereka senang karena mendengar tokoh mereka memilih sikap seperti harapan
mereka.Dan mereka juga bahagia karena akhirnya tokoh mereka hidup bahagia di
akhir cerita.Aku menutup cerita sampai di situ.Aku berharap hikmah setiap
dongeng yang kututurkan pada mereka akan mempengaruhi hati dan pikiran meraka
membuat sikap dan perilaku yang baik. Anak-anak pun bertepuk tangan.Sebagiannya masih nampak belum puas.
“Aah,kok sudah selesai?Terus gimana dong pangeramya
ketika menjadi raja?Anak-anaknya bagaimana?” Tanya Denti.
“Iya,Pak terusin dong ceritanya !”sahut Puji
“Iya Pak!”
“Iya Pak !”
“Anak-anak,bukan Bapak nggak mau,tapi kan kalian
tahu hari ini tadi cuaca sangat terik.Dan Bapak sangat capek bekerja
seharian.Jadi untuk kali ini Bapak cukupkan sampai di sini,besok kita sambung
lagi”,kataku menjelaskan.
“Eh..,iya biar Bapak istirahat dulu.Kalian
jangan egoislah!”kata Zul Fahmi pada taman-temannya.
“Oh,maafkan kami ya Pak ..”,kata Dyah
“Tapi kami nggak mau pulang!”kata anak-anak itu
riuh.
“Oh,kalau kalian masih mau di sini,kalian boleh
tetap di sini baca-baca buku .Tap nanti rapikan lagi di rak buku seperti semula
ya?!”kataku mengijinkan.Aku tahu anak-anak itu tak akan mau pulang meskipun
kusuruh,sebelum mereka membaca buku –buku cerita yang kemarin belum selesai
mereka baca.
“yee!”
“Horee!”
“asyiik!”
“Terima kasih Pak!”
Anak-anak itu mengangguk gembira dan bergegas
melangkah menuju rak mengambil buku kegemarannya.Lalu tenggelam dalam alur
baris kata-kata dalam kalimat-kalimat paragraf buku di tangan mereka.Sementara
aku melangkah menuju dipan di pojok ruang dan merebahkan diri meluruskan
punggung yang sejak pagi tadi terus membungkuk-bungkuk.
***
Tumpukan guntingan koran itu kuturunkan dari
meja. Kusiapkan lem dan gunting. Kusiapkan pula buku besar ukuran folio, tempat kutempelkan guntingan yang sudah ditata rapi.
Aku merasa lebih nyaman mengerjakan semua itu di atas lantai. Lebih
santai dan tidak cepat capek.
Sejenak aku termangu.Tanpa sengaja mataku memandang lemari-lemari buku di ruangan perpustakaan pribadiku itu. Sudah empat puluh tahun usia perpustakaan yang kupunyai ini.Rumahku ruang-ruangannya yang banyak
itu sudah penuh dengan buku. Kubayangkan betapa banyak sarjana yang
lulus dari membaca di ruang
ini selama empat puluh tahun ini.. Ada lumayan banyak buku referensi yang
dia
beli di pasar loak dan ternyata bermanfaat besar. Dia bersyukur
bisa membantu anak-anak muda yang penuh semangat itu.
Rumah yang
luas dan lengang. Rumah yang berdinding kayu jati.
Rumah yang
artistik. Di sini tersimpan ribuan buku. Ada empat kamar yang dijadikan ruang
buku. Hampir semuanya berisi
buku dan kumpulan klipingnya. Semua dirawatnya dengan baik.
Kamar paling depan adalah tempat
dia
mendongeng
di depan anak-anak. Lebih luas dan lapang sehingga layak dijadikan
ruang baca.Ada boneka-boneka yang biasa digunakan untuk
membuat
ilustrasi dongeng biar kelihatan lebih bernyawa. Rumah besar
peninggalan orang tuaku hari
ini dibekap sunyi.
Ketika Aku hendak mulai
menempelkan guntingan koran yang
kudapat siang tadi , terdengar ketukan di pintu.
Spontan aku melihat jam dinding.
Masih pukul sembilan
malam. Tamu yang datang ke perpustakaanku ini memang tidak mengenal waktu. Pernah dia kedatangan tamu
dari luar kota pukul satu malam.Seorang
mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi mencari buku untuk referensi
skripsinya,yang katanya ia mendengar perputakaanku punya sebuah buku yang dicarinya
itu. Entah dari mana dia mendengar perpustakaan pribadiku sehingga
jauh-jauh datang ke
rumahku
ini.Namun tetap kuterima
dengan baik
Ketukan di pintu itu makin keras dengan ritme
yang makin sering. Tergopoh-gopoh aku
bergegas membuka pintu. Senyum mengembang
langsung
ditebarkan oleh sang tamu. Tanpa dipersilakan tamu yang sudah dikenalnya itu masuk dan duduk santai
di kursi jati yang terbuat dari bonggol kayu jati.
“Bagaimana keputusanmu, Di? Malam ini Kamu harus segera memutuskan”Kata Alan tagas.
Aku tersenyum. Si
Alan, makelar
tanah itu datang seperti yang dijanjikan. Tanah seluas 1500
meter persegi berikut bangunannya ini sudah diincar
orang. Katanya akan dijadikan sebuah super market. Karena tanah ini memang berada di lokasi yang strategis. Di dalam kota dan berada di sebuah perempatan yang
selalu ramai.
Pasti akan menjanjikan keuntungan yang luar biasa. Sudah banyak orang yang mengincarnya. Tidak hanya
Si Alan itu,tapi juga beberapa orang makelar telah mendatangiku membujuk untuk
menjual tanah dan rumah warisan ibu ini.
“Ingat tiga milyar. Itu sebuah harga yang tinggi. Kau bisa mandi
uang!”
katanya memberi provokasi.
Malam ini aku memang
harus memberi keputusan. Aku
memang pernah membayangkan memegang uang tiga milyar.
Seperti apa
rasanya
ya? Lagi-lagi Si Alan tersenyum melihat
aku tersenyum sendiri.
“Nah begitu, memang sudah semestinya Kamu melepaskan
tanah dan bangunan kayu jati ini.
Tiga milyar itu uang tidak sedikit. Kamu dapat membeli tanah di desa. Kamu dapat membangun rumah yang megah di desa itu. Kau bisa jadi orang kaya
baru. Ingat kamu tidak usah jadi pemulung lagi. Kamu deposito- kan saja uangmu. Tinggal menikmati bunganya
dengan nyaman,”
kata Si Alan berapi-api.
“Apakah uang itu sudah tersedia?”tanyaku.
“Ha ha ha, Mul, Mul.....!
Sepertinya kamu tidak percaya
padaku. Aku angkat telpon sekarang, dalam satu jam uang itu
akan
datang dengan diantar mobil dan berhenti di depan pintu
rumahmu. Mulai besok kamu bisa berfoya-foya. Tidak seperti sekarang. Mengurusi buku-buku
kumal, melayani mahasiswa-
mahasiswa, mendongeng di depan anak-anak, menjadi pemulung sampai tua
sampai mati kau akan melarat terus..!,”
ucap Si Alan sambil tertawa penuh penghinaan.
Mendengar hinaan itu aku pun ikut-ikutan tertawa. Menertawakan diriku sendiri. “Selamat Mul, mulai malam ini kamu sudah jadi orang kaya,” Si Alan menjabat tanganku. Aku menepisnya
halus. “Selamat? Selamat apa? Aku kan tetap pemulung!”
“Ha ha ha, tidak mengapa, Kamu tetap pemulung tidak apa-apa. Sambil terus menulis dan mendongeng di depan anak-anak di sini.
Pemulung paling kaya!”
Hatiku mendidih ,mataku panas. Hatiku benar-benar
tersinggung.
“Aku tidak menjual tempat ini. Aku sudah tua. Hidup paling tidak lama
lagi. Aku sudah menulis surat wasiat. Aku akan menyerahkan tanah, bangunan dan isinya
pada pemerintah
daerah biar dikelola
untuk tujuan wisata
ilmu.”
Kali ini Si
Alan yang terkejut.
“Katakan berapa harga diberikan oleh pemda itu?” tanyanya
dengan suara serius penasaran.
Aku
diam sejenak.
“Kamu ingin tahu? Jangan kaget.... gratis,” kataku kalem. Si Alan
tersentak. Dia seperti tersengat listrik.Atau disengat lebah di pantatnya,sehingga
dengan cepat berdiri Tak percaya dengan ucapanku yang barrusan ia dengar
tadi.
“Gila kamu Mul. Uang
tiga milyar
kau
biarkan melayang begitu saja??!”
“Aku tidak mempunyai anak isteri. Aku tidak memiliki keturunan. Biarlah tradisi yang kurintis di perpustakaan ini ada yang meneruskan. Aku sudah memiliki tenaga muda yang akan meneruskannya
di rumah ini.”
Kataku tegas.Si Alan menggeleng-gelengkan kepala.Barangkali otaknya dipenuhi seribu perasaan masgul
,masih ada makhluk seaneh Si Mul
Tua ini. Baru sekarang
ini dia menemui manusia yang menolak manisnya
uang.Dia ngeloyor pergi begitu saja .Keluar
rumahku dengan membanting pintu Mungkin pandangannya menjadi berkunang-kunang
Terbayang di pelupuk matanya keuntungan 10 % nilai jual rumahku melayang
terbang dari tangannya..
***
Komentar