RUANG CERPEN

HOME  ARTIKEL   RUANG BELAJAR    APRESIASI   HIKMAH   NGAJI

POHON REMBULAN
Oleh : Mulyanto,TE
FOTO] TRADISI KEMATIAN INI SIAP BUAT KAMU SHOCK BERAT, BERANI ...MALAM sepulang dari ceramah di suatu tempat, biasanya Ayah menatap pohon itu dari jendela. Seolah-olah bersyukur. Seolah-olah hendak berterima kasih bahwa pohon itu yang telah menguatkan kata dan menjadi inspirasinya pada setiap ceramah atau menulis. Tetapi, sekarang pohon itu tak ada lagi.Cahaya rembulan dengan leluasa masuk ke kamar utama, melalui jendela yang terbuka. Ayah tidak berdiri di sana. Ayah berbaring dengan napas tersengal-sengal.Anak-anaknya berkumpul. Mungkin malam ini adalah malam terakhir buat Ayah. Kami tak mau mengecewakan hatinya. Tiga anaknya berkumpul. Ya, tiga anak-anak pohon rembulan yang setia. Kini menunggui Ayah, seolah-olah akan mendengarkan pidatonya yang terakhir.
Pada ceramah terakhir ketika Ayah diundang sebagai penceramah untuk kegiatan pengajian akbar di sebuah masjid perusahaan asing sebenarnya kondisi kesehatannya sudah kurang baik.Namun seperti biasanya Ayah enggan menolak undangan panitia pengajian akbar tersebut dengan alasan sisa umur yang tak seberapa ini harus dimanfaatkan untuk kebajikan yang banyak.Dan menurut pandangannya,memberi nasehat ,menyampaikan Al Qur’an merupakan jihad yang paling besar.Jihadul akbar,kata Ayah.Dengan alasan kesehatan kakak-kakakku sudah berusaha mencegah keberangkatannya ke acara itu.Namun Ayah malah memarahi mereka semua.Dikatakannya mereka sudah lebih cinta kehidupan dunia daripada akhirat.Akhirnya dengan terpaksa kakak-kakakku melepas Ayah berangkat memenuhi undangan pengajian akbar tersebut.Dan aku yang masih bujang belum punya tanggungan keluarga ditunjuk oleh kakak-kakakku agar mendampingi Ayah.
Memang aneh sikap Ayah setelah pohon tua di depan rumah kami mati meranggas,sehingga terpaksa ditebang.Sepeninggal pohon yang dulu menaungi rumah kami tersebut, pandangannya terpancang melulu pada Bulan. Bukan hanya Bulan, tapi juga tahun  2020. "Pohon inspirasi telah pergi. Kini komputer dan android menggantikan perannya," ujarnya kembali seperti berpuisi. Ayah percaya bahwa tanpa pohon yang menghasilkan daun dan biji atau buah , seluruh tempat di bumi akan gelap gulita.Bukan hanya gelap gulita, tapi hitam legam di panggung sejarah. Hitam seperti masa lalu seorang penjahat tak dikenal. Kelam seperti masa depan pengebom bunuh diri yang menekan tombol detonator di pasar yang penuh dengan orang yang sedang transaksi.Transaksi perdagangan obat terlarang,transaksi jual beli tubuh dan kehormatan,transaksi perkara-perkara pajak dan korupsi. Pendeknya, hidup yang sudah gelap akan makin bertambah gelap.Hidup dalam suasana demikian ini perlu penerangan. Dan yang paling terbukti mampu menerangi jalan hidup kita, adalah tulisan.Dan orang yang paling berpeluang mendapat penerangan adalah orang yang  mampu membaca tulisan.Membaca peristiwa.Membaca buku dan kitab.Membaca tanda jaman.Membaca Al Qur’an secara hakiki.Haqqo tilawatih.Iqro’ kata Ayah.
Dulu tulisan dititipkan pada daun,kulit binatang,tulang belulang dan batu.Kini pada layar monitor, pada hard disk, pada flash disk, pada cluster informasi dan memori dalam sistem komputer.Makanya, cintamu juga harus lebih canggih. Cinta pada pohon rembulan, cinta pada anak-anak, cinta pada keindahan, cinta pada kebenaran, cinta pada Tanah Air, cinta pada Ibu, dan cinta pada pengetahuan”. Cinta pada pacar tak disebutnya.Aku sudah maklum.Tak seorangpun kakak-kakakku yang menikah melalui pacaran.”Haram ! “ kata Ayah.Begitu nasihat Ayah terus nyerocos dalam mobil sepulang dari ceramah maulid di  Masjid Agung. Kesehatannya tampak terganggu.Wajahnya kulihat sangat pasi Maklum sudah tua dan mengidap darah tinggi lagi.Aku sengaja mendampinginya untuk berjaga-jaga.
Sepeninggal pohon di depan rumah yang mati meranggas tersebut, semangat hidup ayah seperti menggelegak.Dulu, ada kalanya rumah kami ternaungi bayang-bayang pohon. Dulu, hari-hari kami di rumah terasa lebih teduh. Matahari tidak langsung memanggang atap seng rumah kami dengan sinarnya yang panas. Pohon kami tersebut menyambut panasnya lebih dulu.Namun, pohon tua itu, seperti halnya makhluk lain di duniaakhirnya mati. Semua pohon semua akan pergi meninggalkan manusia yang menanamnya. Termasuk pohon yang kami menyebutnya pohon rembulan,kerena cahaya rembulan saat purnama menerobos celah-celah daunnya sehingga membawa suasana yang istimewa terekam dalam sanubari kami sekeluarga. Ya,itulah pohon tuapohon rembulan kebanggaan keluarga kami.
MALAM sudah larut. Ayah tampak sedikit tenang. Napasnya normal. Air mukanya tidak pucat lagi. Tadi mungkin hanya terlalu bersemangat, atau mungkin juga kecapaian. Aliran darah dan pernapasannya terganggu. Atau masuk angin karena pulang dari ceramah terlalu malam.Kami agak tenang.Kedua kakakku merebahkan tubuh mereka di tikar yang digelar dikamar Ayah.”Lik,kamu berjaga ,ya.Aku mau tidur sebentar.Ngantuk sekali “,kata Kakak sulungku.”Aku juga mau nengok si Upik yang tidur di kamar”,kata Kakak perempuanku sambil beranjak menuju kamar Upik,keponakanku anak kakak yang nomer 3.
Tinggal aku sendiri menemani ayah yang nampak tidur nyenyak setelah beberapa saat sebelumnya berkeringat dan gelisah.Tiba-tiba ayah mengigau.Bersuara antara jelas dan tidak.Ayah seperti sedang bermimpi  menyebut-nyebut nama.Ia seperti minta maaf karena tidak menerangkan apa saja manfaat tumbuhan-tumbuhan di pinggir jalan menuju ladang kami.Hidup ini seperti sebuah lapangan, taman, kebun, ladang atau mungkin hutan bagi Ayah. Setiap orang punya perlambang sendiri. Aku sering dipanggilnya sebagai pohon manggis. Garcinia porecta! Manggis hitam, katanya. Memang aku satu-satunya anak Ayah yang berkulit lebih gelap.Kakak-kakakku semuanya berkulit kuning langsat.Aku bangga menjadi pohon manggis bagi ayahku. Batangnya kuat. Daunnya tebal, kukuh, berkilat-kilat. Ramah pada Matahari dan tidak takut pada sinar Rembulan. Ayah mengajari kami hidup tekun, tumbuh rajin, berkembang, dan berbuah. Semua dilakukan untuk ibadah.Lewat tengah malam, sepertinya semua baik. Mataku seperti dilem karena kantuknya.Tak dapat kutahan lagi .Aku terkulai lelap di pinggir dipan tempat Ayah berbaring.Namun, kira-kira pukul empat pagi, aku terbangun. Ayah seperti batuk keras sekali. Napasnya kembali tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Aku membangunkan Kakak-kakakku. Seisi rumah gaduh.”Ayah harus dibawa ke unit gawat darurat. Rumah sakit mana saja. Sekarang juga”,kata Kakak Sulungku.Kakak Perempuanku panik memanggil-manggil Ayah sambil terisak-isak menangis.Si Upik yang digendongnya ikut menangis seperti kebingungan melihat ibunya menangis begitu rupa. Kerongkongnya Ayah mengeluarkan suara seperti nyeri. Bukan.. ,bukan nyeri, tapi menyeramkan. Meremang bulu kudukku.Ya Rabbul ‘alamin, lindungilah Ayah kami.Tak lama kemudian ambulan puskesmas tiba di muka rumah kami.Pak Guruh perawat jaga di puskesmas menyetir mobil ambulan menuju RSUD kabupaten.
Sepanjang perjalanan ingatanku melayang bersama kenangan selama ini hidup bersama Ayah.Bagi kami Ayah adalah sebatang palem . Mungkin sejenis lontar, mungkin juga kurma. Atau kelapa.Bagi kami Ayah bisa jadi palem raja, sadeng, kelapa sawit, atau palem puteri dan kurma. Yang jelas batangnya lurus ke angkasa. Buahnya banyak, kami ambil suka-suka kami. Kalau sedang pelit, ia mirip palem raja. Kalau sedang pemurah, ia adalah kurma yang amat lebat buahnya.Sayangnya, sepeninggal ibu ia banyak pidato. Ia mengingatkan orang pada bahaya kehidupan modernPengaruh globalisasi yang ia hubungkan dengan prediksi Al Qur’an atau sunnah Nabi. Begitu banyak hal yang merasuki kehidupan ummat.Semua itu terbungkus dalam nama manis globalisasi yang sebenarnya merupakan perwujudan dajjal akhir zaman. “Ummat harus disadarkan,bahwa mereka adalah ummat terbaik yang ditampilkan untuk manusia.Bukan hanya ditampilkan untuk kelompok-kelompok pengajian.Bukan pula hanya tampil nasional,namun untuk seluruh manusia.Bagaimana kita bisa tampil optimal jika menjauhi tata nilai Al Qur’an yang menjadi rujukan utama ?” ucap Ayah di suatu pengajian rutin .Aku sering diajak Ayah menemani saat ada undangan tabligh.Ayah menghendaki agar aku mengembangkan pemikiran sistematis dalam membangun hidup ke depan berlandaskan ajaran agama.
Aku senang Ayah banyak membaca. Sejak ada komputer, kegemarannya makin berkobar-kobar. Komputer adalah perpustakaan paling praktis baginya. Melalui Internet, Ayah bisa mengunjungi berbagai pusat kajian ilmiah, membaca berbagai koran dan majalah, bahkan mencari kutipan dari bermacam buku. Tidak mengherankan ia menjadi semakin kaya dan bernas pada akhir hidupnya.Memang begitulah makin tua makin rajin belajar, makin berilmu. Makin bersungguh-sungguh dalam memahami dan menggali makna kehidupan. Ayah telah memberi contoh dengan sebaik-baiknya.”Seseorang itu harus menggantungkan cita-citanya setinggi mungkin.Dan cita-cita yang paling tinggi adalah ridho Alloh,ampunan dan surgaNya.Yang tidak punya cita-cita , sebaiknya mati saja segera.Kalau kalian sebagai pemuda tidak mempunyai cita-cita,lalu apa bedanya kalian dengan babi ?" katanya pada suatu hari.
Pada suatu saat Ayah mengungkapkan isi hatinya kepada kami sekeluarga.Ayah kecewa pada minat belajar Arab dan agama serta bahasa asing yang rapuh, dan nyaris tak berkobar di antara para remaja. Bahasa itu, menurut ayahku, tidak bisa diajarkan. Bahasa itu harus dipelajari. Sedangkan agama itu bisa maujud jika diamalkan.Kalau bisa secara sempurna.Setidaknya yang pokok-pokok mesti diilmui.Meskipun sepuluh tahun tinggal di Mekah , kalau tidak mau belajar bahasa Arab, tetap saja tidak akan bisa. Atau meskipun bertahun-tahun tinggal di Inggris,namun tak mau belajar bahassa Inggris,ya tidak akan bisa.Sebaliknya, meskipun tinggal di dusun terpencil, bila rajin buka kamus, dengan penuh semangat belajar maka kita akan bisa.Bahkan dengan kondisi sekarang begitu nyata Alloh sudah memudahkan Al Qur’an untuk dipelajari .Sumber belajar dan jarak tak lagi jadi hambatan untuk tholabul ilmi.Ingat,ilmu itu kelakone kanthi laku ! “,begitu kata Ayah menyitir bait tembang  pucung.
Beberapa tahun lalu,tepatnya empat tahun silam,Ayah pernah jatuh sakit.Itu terjadi setelah nenekku meninggal.Belum pernah Ayah kulihat sedih sebagaimana sedihnya ketika nenek meninggal.Sebulan,kulihat ayah tidak bicara kepada kami.Diam.Sepertinya ada sesalan di hatinya yang tak hendak diungkapnya.Meskipun kepada kami anak-anak yang disayanginya.Ketika kudesak dengan pertanyaan,”Mengapa Ayah belum merelakan nenek berangkat mendahului kita,sedangkan Ayah sering ceramah kepada masyarakat agar bersabar pada setiap musibah yang menimpa  ?”Mula-mula Ayah tetap diam.Ia hanya memandangku dengan pandangan aneh yang tak kumengerti maksudnya.Baru setelah kudesak-desak Ayah mau bicara,”Ayah bukan tidak rela,Lik.Ayah belum sempat memperbaiki kesalahan yang pernah ayah lakukan sewaktu nenek tinggal di rumah kita”.Hanya itu yang Ayah ucapkan.Tak ada penjelasan detil apa kesalahan Ayah sehingga menimbulkan penyesalan yang berkepanjangan dalam hidupnya.Akupun tak berani menanyakan hal itu,takut malah membuat jiwa Ayah tambah guncang.
Pukul setengah lima, ketika adzan subuh berkumandang di masjid-masjid, Ayah menghembuskan napas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat thoyibah. Kami semua merasa sangat kehilangan.Kakak perempuanku menangis sesenggukan dengan linangan air mata mengalir bagai mata air deras sumur kami.Kakak sulungku menyapukan tangannya sambil mengucap kalimat thoyibah untuk menutup mata Ayah yang membuka.Kalimat Ayah yang penghabisan kami catat, "Jangan jadi pemberontak melawan Alloh.Selalu bersiap jihad dalam setiap kondisi.Dan jangan lupa mintakan ampun kepada Alloh atas semua dosa dan kesalahan Ayah,terutama kepada Ibu kalian..Ayah seolah-olah ingin berpesan agar kami tidak memusuhi Ibu. Kami harus selalu mendengarkan Ibu. Kami tidak boleh berargumen apa pun, bila Pohon Rembulan itu bicara.Aneh. sekali! Ibu bukan Pohon Rembulan, tapi kurma yang kuat, tahan cuaca dan iklim ekstrim ,cantik dan setia. Mungkin Ayah lupa. Pohon Rembulan yang sangat dicintainya itu sudah pergi duluan. Ayah memanggil ibu sebagai Pohon  rembulan ? Ah, siapa pun Pohon rembulan yang dimaksud Ayah, siapa yang mau melawan?Yang terang, aku  dan kakakku merasa sangat sedih .Aku ,anak Pohon Rembulan ini, kini menjadi yatim piatu. Tetapi, itu tidak menghalangi kami tumbuh dan terus berkembang. Termasuk kalau kami ingin menjadi pohon-pohon jenis yang lain. Aku pohon manggis hitam, kakak memilih jadi asam jawa, dan si kecil, anaknya yang bungsu adalah pohon salam. Ia pohon asli Indonesia. Nama latinnya Syzygium pollyanthum, tingginya bisa 25 meter, teguh dalam badai, seperti ibunya.Si pohon asam jawa, Tamarindus indica, mirip seperti Ayah. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi IT. Ia tidak takut cahaya mentari. Ia terus tumbuh ke langit, ada atau tidak ada anginia terus tumbuh bebas di mana-manaKami mendengar sisi lain pesan Ayah. Katanya juga jelas dan tegas, "Jangan takut pada hutan dan binatang-binatang buas di dalamnya, ada atau tidak ada Pohon Rembulan dan Asam Jawa ini ! ”


Gajah Mati,24 Januari 2017 

Lebih banyak lagi Cerpen>>>       
Cerpen Pelajar  UMBUT MUDA BERKARYA           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUANG KATA

UMBUT MUDA BERKARYA